tahap-tahap upacara kematian saur matua
Upacara
kematian pada masyarakat Batak Toba merupakan pengakuan bahwa masih ada
kehidupan lain dibalik kehidupan di dunia ini. Adapun maksud dan tujuan
masyarakat Batak Toba untuk mengadakan upacara kematian itu tentunya
berlatar belakang kepercayaan tentang kehidupan .
Saur
matua adalah orang yang meninggal dunia telah beranak cucu baik darianak
laki-laki maupun anak perempuan. Saur artinya lengkap/sempurna dalam
kekerabatan, telah beranak cucu. Karena yang telah meninggal itu adalah
sempurna dalam kekerabatan, maka harus dilaksanakan dengan sempurna.
Lain halnya dengan orang yang meninggal sari matua. Kalaupun suhut
membuat acara adat sempurna sesuai dengan Adat Dalihan Na Tolu, hal
seperti itu belum tentu dilakukan karena masih ada dari keturunannya
belum sempurna dalam hal kekerabatan. Dalam melaksanakan sesuatu upacara
harus melalui fase-fase (tahapan-tahapan) yang harus dilalui oleh
setiap yang melaksanakannya.
Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui adalah sebagai berikut:
1. Acara Sebelum Upacara di Mulai
Dalam
kehidupan ini, setiap manusia dalam suatu kebudayaan selalu
berkeinginan dan berharap dapat menikmati isi dunia ini dalam jangka
waktu yang lama. Tetapi usaha untuk mencapai keinginan tersebut adalah
di luar jangkauan manusia,karena keterbatasan, kemampuan dan akal
pikiran yang dimiliki oleh manusia. Selain itu, setiap manusia juga
sudah mempunyai jalan kehidupannya masing-masing yang telah ditentukan
batas akhir kehidupannya. Batas akhir kehidupan manusia ini (mati) dapat
terjadi dikarenakan berbagai hal,misalnya karena penyakit yang diderita
dan tidak dapat disembuhkan lagi kecelakaan dan sebab-sebab lain yang
tidak dapat diketahui secara pasti, maupun disebabkan penyakit.
Pada
masyarakat Batak Toba, bila ada orangtua yang menderita penyakit yang
sulit untuk disembuhkan, maka pada keturunanya beserta sanak famili
biasanya melakukan acara adat khusus baginya, yang disebut dengan
Manulangi (memberi makan). Sebelum diadakan acara manulangi ini, maka
pada keturunannya beserta sanak famili lebih dahulu harus mengadakan
musyawarah untuk menentukan berbagai persyaratan, seperti menentukan
hari pelaksanaan adat panulangion itu, jenis ternak yang akan dipotong,
dan jumlahnya serta biaya yang diperlukan untuk mempersiapkan makanan
tersebut. Sesuai dengan hari yang sudah ditentukan, berkumpullah semua
keturunan dan sanak famili di rumah orangtua tersebut dan dipotonglah
seekor ternak babi untuk kemudian dimasak lagi dengan baik sebagai
makanan yang akan disuguhkan untuk dimakan bersama-sama. Pada waktu itu
juga turut diundang hula-hula dari suhut, dongan tubu, dan natua-tua ni
huta (orang yang dituakan di kampung tersebut).
Kemudian acara
panulangion dimulai dengan sepiring makanan yang terdiri dari sepiring
nasi dan lauk yang sudah dipersiapkan, diberikan kepada orangtua
tersebut oleh anak sulugnya. Pada waktu Eanulangi, si anak tersebut
menyatakan kepada orangtuanya bahwa mereka sebenarnya khawatir melihat
penyakitnya. Maka sebelum tiba waktunya, ia berharap agar orangtuanya
dapat merestui semua keturunananya hingga beroleh umur yang panjang,
murah rezeki dan tercapai kesatuan yang lebih mantap. Ia juga mendoakan
agar orangtuanya dapat lekas sembuh. Setelah anaknya yang sulung selesai
memberikan makan, maka dilanjutkan oleh adik-adiknya sampai kepada yang
bungsu beserta cucu-cucunya. Sambil disuguhi makanan, semua
keturunannya direstui dan diberi nasehat-nasehat. Pada waktu itu ada
juga orangtua yang membagi harta warisannya walaupun belum resmi
berlaku.
Setelah selesai memberi makan, maka selanjutnya keturunan
dari orangtua itu harus manulangi hula-hulanya dengan makanan agar
hula-hulanya juga memberkati mereka. Acara kemudian dilanjutkan dengan
makan bersama-sama. Sambil makan, salah seorang dari pihak boru (suhut)
memotong haliang (leher babi) dan dibagi-bagikan kepada hadirin. Setelah
selesai makan, diadakanlah pembagian”jambar (suku-suku daging). Gaor
bontar (kepala baglan atas sebelah kiri untuk boru (anak perempuan),
Osang (mulut bagian bawah) untuk hula-hula, Hasatan (ekor) untuk
keluarga suhut, soit (perut bagian tengah) untuk dongan sabutuha (teman
semarga) dan jambar (potongan daging-daging) untuk semua yang hadir).
Setelah pembagian jambar maka mulailah kata-kata sambutan yang pertama
oleh anak Sulung dari orangtua ini dilanjutkan dari pihak boru, dongan
sabutuha, dongan sahuta, dan terakhir dari hula-hula.
Setelah
selesai kata mangampui, maka acarapun selesai dan diadakanlah doa
penutup. Setelah acara panulangion itu selesai, maka pada hari
berikutnya pihak hula-hula pergi menjenguk orangtua tadi dengan membawa
dengke (ikan) dan sehelai ulos (kain adat batak) yang disebut ulos
mangalohon ulos naganjang (memberikan kain adat). Ketika hula-hula
menyampaikan makanan itu kepada orangtua yang sakit, disitulah merka
memberikan ulos naganjang kepada orangtua itu dengan meletakkannya di
atas pundak (bahu) orangtua tersebut. Tujuan dari pemberian ulos dan
makanan ini adalah supaya orangtua tersebut cepat sembuh, berumur
panjang dan dapat membimbing semua keturunannya hingga selamat dan
sejahtera di hari-hari mendatang.
Setelah pemberian ikan dan ulos
itu maka pihak boru brdoa dan menyuguhkan daging lengkap dengan
suku-sukunya kepada pihak hula-hula. Pada waktu yang ditentukan oleh
Yang Maha Kuasa, akhirnya orangtua yang gaur matua itu meninggal dunia,
maka semua keluarga menangis dan ada yang meratap sebagai pertanda bahwa
sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berpisah. Sesudah mayat tersebut
dibersihkan maka dikenakan pakaian yang rapi dan
diselimuti dengan
kain batak (ulos). selanjutnya dibaringkan di ruang tengah yang kakinya
mengarah ke jabu (bona rumah suhut). Pada saat yang bersamaan, pihak
laki-laki baik dari keturunan orangtua yang meninggal maupun sanak
saudara berkumpul di rumah duka dan membicarakan bagaimana upacara yang
akan dilaksanakan kepada orangtua yang sudah saur matua itu. Dari
musyawarah keluarga akan diperoleh hasil-hasil dari setiap hal yang
dibicarakan. Hasil-hasil ini dicatat oleh para suhut untuk kemudian
untuk dipersiapkan ke musyawarah umum. penentuan hari untuk musyawarah
umum ini juga sudah ditentukan. Dan mulailah dihubungi pihak famili dan
mengundang pihak hula-hula, boru, dongan tubu. raja adat, parsuhuton
supaya hadir dalam musyawarah umum (Mangarapot). Sesudah acara
mangarapot selesai, maka diadakanlah pembagian tugas bagi pihak
hasuhuton. Beberapa orang dari pihak hasuhuton pergi mengundang
(Manggokkon hula-hula, boru, dongan sabutuha (yang terdiri dari ternan
semarga, teman sahuta, teman satu kampung) serta sanak saudara yang ada
di rantau. Pihak suhut lainnya ada yang memesan peti mayat, membeli dan
mempersiapkan beberapa ekor ternak (kerbau atau babi atau yang lainnya)
sebagai makanan pesta atau untuk borotan.
Mereka yang bekerja pada
saat upacara adalah pihak boru yang disebut Parhobas. Dan sebagian dari
pihak suhut mempersiapkan pakaian adat untuk keturunan orangtua yang
meninggal saur matua itu, yaitu semua anak laki-lakinya, cucu lakilaki
dari yang pertama (sulung) dan cucu laki-laki dari anaknya
perempuan.Pakaian adat ini terdiri dari ulos yang diselempangkan di atas
bahu dan topi adat yang dipakai di atas kepala. Pihak boru lainnya
pergi mengundang pargonsi dengan memberikan napuran tiar (sirih) yang
diletakkan di atas sebuah piring beserta dengan uang honor dari pargonsi
selama mereka memainkan gondang sabangunan dalam upacara saur matua.
pemberian napuran tiar ini menunjukkan sikap hormat kepada pargonsi agar
pargonsi bersedia menerima undangan tersebut dan tidak menerima
undangan lain pada waktu yang bersamaan.
2. Acara Pelaksanaan Upacara Kematian Saur Matua
Setelah
keperluan upacara selesai dipersiapkan barulah upacara kematian gaur
matua ini dapat dimulai. Pelaksanaan upacara kematian saur matua ini
terbagi atas dua bagian yaitu :
1. Upacara di jabu (di dalam rumah) termasuk di dalamnya upacara di jabu menuju maralaman (upacara di rumah menuju ke halaman).
2.
Upacara maralaman (di halaman) Kedua bentuk upacara inilah yang
dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba sebelum mengantarkan jenazah ke
liang kubur.
1. Upacara di jabu (di dalam rumah)
Pada saat
upacara di jabu akan dimulai, mayat dari orangtua yang meninggal
dibaringkan di jabu bona (ruang tamu). Letaknya berhadapan dengan kamar
orangtua yang meninggal ataupun kamar anak-anaknya dan diselimuti dengan
ulos sibolang. Suami atau isteri yang ditinggalkan duduk , di sebelah
kanan tepat di samping muka yang meninggal. Kemudian diikuti oleh anak
laki-laki mulai dari anak yang paling besar sampai anak yang paling
kecil. Anak perempuan dari orangtua yang meninggal, duduk di sebelah
kiri dari peti mayat. Sedangkan cucu dan cicitnya ada yang duduk di
belakang atau di depan orangtua meeka masing-masing. Dan semua unsur
dari dalihan natolu sudah hadir di rumah duka dengan mengenakan ulos.
Upacara
di jabu ini biasanya di buka pada pagi hari (sekitar jam 10.00 Wib)
oleh pengurus gereja. Kemudian masing-masing unsur dalihan natolu
mengadakan acara penyampaian kata-kata penghiburan kepada suhut. Ketika
acara penyampaian kata-kata penghiburan oleh unsur-unsur dalihan natolu
sedang berlangsung, diantara keturunan orangtua yang meninggal masih ada
yang menangis.
Pada saat yang bersamaan, datanglah pargonsi
sesuai dengan undangan yang disampaikan pihak suhut kepada mereka.
Tempat untuk pargonsi sudah dipersiapkan lebih dahulu yaitu di bagian
atas rumah (bonggar). Kemudian pargonsi disambut oleh suhut dan
dipersilahkan duduk di jabu soding (sebelah kiri ruang rumah yang
beralaskan tikar. Lalu suhut menjamu makan para pargonsi dengan
memberikan sepiring makanan yang berisi ikan (dengke) Batak, sagu-sagu,
nasi, rudang, merata atau beras yang ditumbuk dan disertai dengan
napuran tiar (sirih).
Setelah acara makan bersama para pargonsi
pun mengambil tempat mereka yang ada di atas rumah dan mempersiapkan
instrumen-instrumen mereka masing-masing. Umumnya semua pemain duduk
menghadap kepada yang meninggal. Kegiatan margondang di dalam rumah
biasanya dilakukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari harinya
dipergunakan pargonsi untuk istirahat. Dan pada malam hari tiba,
pargonsi pun sudah bersiap-siap untuk memainkan gondang sabangunan.
Kemudian pargonsi memainkan gondang Lae-lae atau gondang elek-elek,
yaitu gondang yang memeberitahukan danmengundang masyarakat sekitarnya
supaya hadir di rumah duka untuk turut menari bersama-sama.
Gondang
ini juga dijadikan sebagai pengumuman kepada masyarakat bahwa ada orang
tua yang meninggal saur matua. Dan pada saat gondang tersebut berbunyi,
pihak suhut juga bersiap-siap mengenakan ulos dan topi adat karena
sebentar lagi kegiatan margondang saur matua akan dimulai. Kemudian
diaturlah posisi masing-masing unsur Dalihan Natolu. Pihak suhut berdiri
di sebelah kanan yang meninggal, boru disebelah kiri yang meninggal dan
hula-hula berdiri di depan yang meninggal. Jika masih ada suami atau
isteri yang meninggal maka mereka berdiri di sebelah kanan yang
meninggal bersama dengan suhut hanya tapi mereka paling depan.
Kemudian
kegiatan margondang dibuka oleh pengurus gereja (pangulani huria).
Semua unsur Dalihan Natolu berdiri di tempatnya masingmasing. pengurus
gereja berkata kepada pangonsi agar dimainkan gondang mula-mula. Gondang
ini dibunyikan untuk menggambarkan bahwa segala yang ada di dunia ini
ada mulanya, baik itu manusia, kekayaan dan kehormatan.
2. Gondang
ke dua yaitu gondang yang indah dan baik (tanpa ada menyebutkan nama
gondangnya). Setelah gondang berbunyi, maka semua menari.
3.
Gondang Liat-liat, para pengurus gereja menari mengelilingi mayat
memberkati semua suhut dengan meletakkan tangan yang memegang ulos ke
atas kepala suhut dan suhut membalasnya dengan meletakkan tangannya di
wajah pengurus gereja.
4. Gondang Simba-simba maksudnya agar kita
patut menghormati gereja. Dan pihak suhut menari mendatangi pengurus
gereja satu persatu dan minta berkat dari mereka dengan rneletakkan ulos
ke bahu rnasing-masing pengurus gereja. Sedangkan pengurus gereja
menaruh tangan mereka ke atas kepala suhut.
5. Gondang yang
terakhir, hasututon meminta gondang hasahatan dan sitio-tio agar semua
mendapat hidup sejahtera bahagia dan penuh rejeki dan setelah selesai
ditarikan rnereka semuanya mengucapkan horas sebanyak tiga kali.
Kemudian
masing-masing unsur dari Dalihan Natolu meminta gondang kepada
pargonsi, mereka juga sering memberikan uang kepada pargonsi tetapi yang
memberikan biasanya adalah pihak boru walaupun uang tersebut adalah
dari pihak hula-hula atau dongan sabutuha. Maksud dari pemberian uang
itu adalah sebagai penghormatan kepada pargonsi dan untuk memberi
semangat kepada pargonsi dalam memainkan gondang sabangunan.
Jika
upacara ini berlangsung beberapa malam, maka kegiatan-kegiatan pada
malam-malam hari tersebut diisi dengan menotor semua unsur Dalihan Na
Tolu. Keesokan harinya, apabila peti mayat yang telah dipesan sebelumnya
oleh suhut sudah selesai, maka peti mayat dibawa rnasuk kedalam rumah
dan mayat dipersiapkan untuk dimasukkan ke dalam peti. Ketika itu
hadirlah dongan sabutuha, hula-hula dan boru. Yang mengangkat mayat
tersebut ke dalam peti biasanya adalah pihak hasuhutan yang dibantu
dengan dongan sabutuha. Tapi dibeberapa daerah Batak Toba, yang
memasukkan mayat ke dalam peti adalah dongan sabutuha saja.
Kemudian
dengan hati-hati sekali mayat dimasukkan ke dalam peti dan diselimuti
dengan ulos sibolang. posisi peti diletakkan sarna dengan posisi mayat
sebelumnya. Maka aktivitas selanjutnya adalah pemberian ulos tujung,
ulus sampe, ulus panggabei.
Yang pertama sekali memberikan ulos
adalah hula-hula yaitu ulos tujung sejenis ulos sibolang kepada yang
ditinggalkan (janda atau duda) disertai isak tangis baik dari pihak
suhut maupun hula-hula sendiri. Pemberian ulos bermakna suatu pengakuan
resmi dari kedudukan seorang yang telah menjadi janda atau duda dan
berada dalam suatu keadaan duka yang terberat dalam hidup seseorang
ditinggalkan oleh teman sehidup semati, sekaligus pernyataan turut
berduka cita yang sedalamdalamnya dari pihak hula-hula. Dan ulos itu
hanya diletakkan diatas bahu dan tidak diatas kepala. Ulos itu disebut
ulos sampe atau ulos tali-tali. Dan pada waktu pemberian ulos
sampe-sampe itu semua anak keturunan yang meninggal berdiri di sebelah
kanan dan golongan boru di sebelah kiri daeri peti mayat.
Setelah
ulos tujung diberikan, kemudian tulang dari yang meninggal memberikan
ulos saput (sejenis ulos ragihotang atau ragidup), yang diletakkan pada
mayat dengan digerbangkan (diherbangkan) diatas badannya. Dan bona
tulang atau bona ni ari memberikan ulos sapot tetapi tidak langsung
diletakkan di atas badan yang meninggal tetapi digerbangkan diatas mayat
peti saja. Maksud dari pemberian ulos ini adalah menunjukkan hubungan
yang baik dan akrab antara tulang dengan bere (kemenakannya).
Setelah
hula-hula selesai memberikan ulos-ulos tersebut kepada suhut, maka
sekarang giliran pihak suhut memberikan ulos atau yang lainnya sebagai
pengganti dari ulos kepada semua pihak boru. pengganti dari ulos ini
dapat diberikan sejumlah uang.
Kemudian aktivitas selanjutnya
setelah pemberian ulos atau uang kepada boru adalah kegiatan margondang,
dimulai dari pihak suhut, dongan sabutuha, boru dan ale-ale. Semuanya
menari diiringi gondang sabungan dan mereka sesuka hati meminta jenis
gondang yang akan ditarikan. Sesudah semua rombongan selesai menari,
maka semua hadirin diundang untuk makan bersama. Sehari sebelumnya peti
mayat dibawa ke halaman rumah orangtua yang saur matua tersebut,
diadakanlah adat pandungoi yang biasanya dilakukan rada sore hari.
Adat
ini menunjukkan aktivitas memberi makan (sepiring nasi beserta lauknya)
kepada orangtua yang saur matua dan kepada semua sanak famili. Setelah
pembagian harta warisan selesai dilaksanakan,lalu semua unsur Dalihan na
Tolu kembali menari. Mulai dari pihak suhut, hasuhutan yang menari
kemudian dongan sabutuha, boru, hula-hula dan ale-ale. Acara ini
berlangsung sampai selesai ( pagi hari ).
1. Upacara di jabu menuju maralaman
Keesokan
harinya (tepat pada hari penguburan) semua suhut sudah bersiapsiap
lengkap dengan pakaian adatnya untuk mengadakan upacara di jabu menuju
maralaman. Setelah semuanya hadir di rumah duka, maka upacara ini
dimulai, tepatnya pada waktu matahari akan naik (sekitar pukul 10.00
Wib). Anak laki-laki berdiri di sebelah kanan peti mayat, anak perempuan
(pihak boru) berdiri di sebelah kiri, hula-hula bersama pengurus gereja
berdiri di depan peti mayat dan dongan sabutuha berdiri di belakang
boru. Kemudian acara dipimpin oleh pengurus gereja mengenakan pakaian
resmi (jubah).
Setelah acara gereja selesai maka pengurus gereja
menyuruh pihak boru untuk mengangkat peti mayat ke halaman rumah sambil
diiringi dengan nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin. Lalu peti
mayat ditutup (tetapi belum dipaku) dan diangkat secara hati-hati dan
perlahan-lahan oleh pihak boru dibantu oleh hasuhuton juga dongan
sabutuha ke halaman. peti mayat tersebut masih tetap ditutup dengan ulos
sibolang. Lalu peti mayat itu diletakkan di halaman rumah sebelah kanan
dan di depannya diletakkan palang salib kristen yang bertuliskan nama
orangtua yang meninggal. Sesampainya di halaman, peti mayat ditutup dan
diletakkan di atas kayu sebagai penyanggahnya. Semua unsur dalihan Na
Tolu yang ada di dalam rumah kemudian berkumpul di halaman rumah untuk
mengikuti acara selanjutnya.
2. Upacara Maralaman (di halaman rumah)
Upacara
maralaman adalah upacara teakhir sebelum penguburan mayat yang gaur
matua. Di dalam adat Batak Toba, kalau seseorang yang gaur matua
meninggal maka harus diberangkatkan dari antaran bidang (halaman) ke
kuburan (disebut Partuatna). Maka dalam upacara maralaman akan
dilaksanakan adat partuatna. Pada upacara ini posisi dari semua unsur
dalihan Na Tolu berbeda dengan posisi mereka ketika mengikuti upacara di
dalam ruah. pihak suhut berbaris mulai dari kanan ke kiri (yang paling
besar ke yang bungsu), dan di belakang mereka berdiri parumaen (menantu
perempuan dari yang meninggal) posisi dari suhut berdiri tepat di
hadapan rumah duka. Anak perempuan dari yang meninggal beserta dengan
pihak boru lainnya berdiri membelakangi rumah duka kemudian hula-hula
berdiri di samping kanan rumah duka.
Semuanya mengenakan ulos yang
disandang di atas bahu. Ke semua posisi ini mengelilingi kayu borotan
yang ada di tengahtengah halaman rumah. Sedangkan peti mayat diletakkan
di sebelah kanan rumah duka dan agak jauh dari tiang kayu borotan Posisi
pemain gondang sabangunan pun sudah berbeda dengan posisi mereka ketika
di dalam rumah. Pada upacara ini, posisi mereka sudah menghadap ke
halaman rumah (sebelumnya di bonggar rumah, tetapi pada upacara
maralaman mereka berada di bilik bonggar sebelah kanan). Kemudian
pargonsi pun bersiap-siap dengan instrumennya masing-masing.
Setelah
semua unsur Dalihan Na Tolu dan pargonsi berada pada tempatnya, lalu
pengurus gereja membuka kembali upacara di halaman ini dengan bernyanyi
lebih dahulu, lalu pembacaan firman Tuhan, bernyanyi lagi, kata sambutan
dan penghiburan dari pengurus gereja, koor dari ibu-ibu gereja dan
terakhir doa penutup. Kemudian rombongan dari pengurus gereja mengawali
kegiatan margondang. Pertama sekali mereka meminta kepada pargonsi
supaya memainkan sitolu Gondang (tanpa menyebut nama gondangnya) , yaitu
gondang yang dipersembahkan kepada Debata (Tuhan) agar kiranya Yang
Maha Kuasa berkenan memberkati upacara ini dari awal hingga akhirnya dan
memberkati semua suhut agar beroleh hidup yang sejahtera di masa
mendatang. Lalu pargonsi memainkan sitolu Gondang itu secara
berturut-turut tanpa ada yang menari.
Setelah sitolu Gondang itu
selesai dimainkan, pengurus gereja kemudian meminta kepada pargonsi
yaitu gondang liat-liat. Maksud dari gondang ini adalah agar semua
keturunan dari yang meninggal saur matua ini selamat-selamat dan
sejahtera. Pada jenis gondang ini, rombongan gereja menari mengelilingi
borotan (yang diikatkan kepadanya seekor kuda) sebanyak tiga kali, yang
disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur. Gerak tari pada gondang
ini ialah kedua tangan ditutup dan digerakkan menurut irama gondang.
Setelah mengelilingi borotan, maka pihak pengurus gereja memberkati
semua boru dan suhut.
Kemudian pengurus gereja meminta gondang
Marolop-olopan. Maksud dari gondang ini agar pengurus gereja dengan
pihak suhut saling bekerja sama. pada waktu menari pengurus gereja
mendatangi suhut dan unsur Dalihan Natolu lainnya satu persatu dan
memberkati mereka dengan meletakkan ulos di atas bahu atau saling
memegang wajah, sedang suhut dan unsur Dalihan Na Tolu lainnya memegang
wajah pengurus gereja. Setelah gondang ini selesai, maka pengurus gereja
menutup kegiatan margondang mereka dengan meminta kepada pargonsi
gondang Hasahatan tu sitiotio. Semua unsur : Dalihan Na Tolu menari di
tempat dan kemudian mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali.
Kegiatan
margondang selanjutnya diisi oleh pihak hasuhutan yang meminta gondang
Mangaliat kepada pargonsi. Semua suhut berbaris menari mengelilingi kuda
sebanyak 3 kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur.
Gerakan tangan sama seperti gerak yang dilakukan oleh pengurus gereja
pada waktu mereka menari gondang Mangaliat. Setelah gondang ini selesai
maka suhut mendatangi pihak boru dan memberkati mereka dengan memegang
kepala boru atau meletakkan ulos di atas bahu boru.Sedangkan boru
memegang wajah suhut.
Setelah hasuhutan selesai menari pada
gondang Mangaliat, maka menarilah dongan sabutuha juga dengan gondang
Mangaliat, dengan memberikan ‘beras si pir ni tondi’ kepada suhut.
Kemudian mangaliatlah (mengelilingi borotan) pihak boru sambil
memberikan beras atau uang. Lagi giliran pihak hula-hula untuk
mangaliat. Pihak hula-hula selain memberikan beras atau liang, mereka
juga memberikan ulos kepada semua keturunan orangtua yang meninggal
(baik anak laki-laki dan anak perempuan). Ulos yang diberikan hula-hula
kepada suhut itu merupakan ulos holong.
Biasanya setelah keturunan
yang meninggal ini menerima ulos yang diberikan hulahula, lalu mereka
mengelilingi sekali lagi borotan. Kemudian pihak ale-ale yang mangaliat,
juga memberikan beras atau uang. Dan kegiatan gondang ini diakhiri
dengan pihak parhobas dan naposobulung yang menari. Pada akhir dari
setiap kelompok yang menari selalu dimintakan gondang Hasahatan atau
sitio-tio dan mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali.
Pada saat
setiap kelompok Dalihan Na Tolu menari, ada juga yang mengadakan
pembagian jambar, dengan memberikan sepotong daging yang diletakkan
dalam sebuah piring dan diberikan kepada siapa yang berkepentingan.
Sementara diadakan pembagian jambar, kegiatan margondang terus
berlanjut. Setelah semuanya selesai menari, maka acara diserahkan kepada
pengurus gereja, karena merekalah yang akan menurup upacara ini. Lalu
semua unsur Dalihan Na Tolu mengelilingi peti mayat yang tertutup. Di
mulai acara gereja dengan bernyanyi, berdoa, penyampaian firman Tuhan,
bernyanyi, kata sambutan dari pengurus gereja, bernyanyi dan doa
penutup. Kemudian peti mayat dipakukan dan siap untuk dibawa ke tempat
penguburannya yang terakhir yang telah dipersiapkan sebelumnya peti
mayat diangkat oleh hasuhutan dibantu dengan boru dan dong an sahuta,
sambil diiringi nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin sampai ke
tempat pemakamannya. Acara pemakaman diserahkan sepenuhnya kepada
pengurus gereja. Setelah selesai acara pemakaman, kembalilah semua yang
turut mengantar ke rumah duka.
3. Acara Sesudah Upacara Kematian.
Sesampainya
pihak suhut , hasuhutan, boru, dongan sabutuha, hula-hula di rumah
duka, maka acara selanjutnya adalah makan bersama. Pada saat itulah kuda
yang diborotkan tadi sudah dapat dilepaskan dan ternak (babi) yang
khusus untuk makanan pesta atau upacara yang dibagikan kepada semua yang
hadir. Pembagian jambar ini dipimpin langsung oleh pengetua adat.
Tetapi terdapat berbagai variasi pada beberapa tempat yang ada pada
masyarakat batak toba. Salah satu uraian yang diberikan dalam pembagian
jambar ini adalah sebagai berikut:
Kepala untuk tulang
Telur untuk pangolin
Somba-somba untuk bona tulang
satu tulang paha belakang untuk bona ni ari
Satu tulang belakang lainnya untuk parbonaan
Leher dan sekerat daging untuk boru
Setelah
pembagian jambar ini selesai dilaksanakan maka kepada setiap hulahula
yang memberikan ulos karena meninggal saur matua orang tua ini, akan
diberikan piso yang disebut “pasahatkhon piso-piso”, yaitu menyerahkan
sejumlah uang kepada hula-hula, jumlahnya menurut kedudukan
masing-masing dan keadaan.
Bilamana seorang ibu yang meninggal
saur matua maka diadakan mangungkap hombung (buha hombung), yang
dilakukan oleh hula-hula dari ibu yang meninggal, biasanya dijalankan
oleh amana posona (anak dari ito atau abang adik yang meninggal). Buha
Hombung artinya membuka simpanan dari ibu yang meninggal. Hombung ialah
suatu tempat tersembunyi dalam rumah, dimana seorang ibu biasanya
menyimpan harta keluarga ; pusaka, perhiasan, emas dan uang.
Harta
kekayaan itu diminta oleh hula-hula sebagai kenang-kenangan, juga
sebagai kesempatan terakhir untuk meminta sesuatu dari simpanan
“borunya” setelah selesai mangungkap hombung, maka upacara ditutup oleh
pengetua adat. Beberapa hari setelah selesai upacara kematian saur
matua, hula-hula dating untuk mangapuli (memberikan penghiburan) kepada
keluarga dari orang yang meninggal saur matua dengan membawa makanan
berupa ikan mas. Yang bekerja menyedikan keperluan acara adalah pihak
boru.
Acara mangapuli dimulai dengan bernyanyi, berdoa, kata-kata
penghiburan setelah itu dibalas (diapu) oleh suhut. Setelah acara ini
selesai, maka selesailah pelaksanaan upacara kematian saur matua. Latar
belakang dari pelaksanaan upacara kematian saur matua ini adalah karena
faktor adat, yang harus dijalankan oleh para keturunan orang tua yang
meninggal tersebut. Pelaksanaan upacara ini juga diwujudkan sebagai
penghormatan kepada orang tua yang meninggal, dengan harapan agar orang
tua tersebut dapat menghormati kelangsungan hidup dari para keturunannya
yang sejahtera dan damai. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara
manusia yang masih hidup dengan para kerabatnya yang sudah meninggal
masih ada hubungan ini juga menentukan hidup manusia itu di dunia dan di
akhirat.
Sebagai salah satu bentuk aktivitas adat , maka
pelaksanaan upacara ini tidak terlepas dari kehadiran dari unsur-unsur
Dalihan Natolu yang memainkan peranan berupa hak dan kewajiban mereka.
Maka dalihan natolu inilah yang mengatur peranan tersebut sehingga
prilaku setiap unsur khususnya dalam kegiatan adat maupun dalam
kehidupan sehari-hari tidak menyimpang dari adat yang sudah ada.