Rabu, 29 Mei 2013

Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara –


Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara
Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara

Rumah adat Pakpak memiliki bentuk yang khas yang dibuat dari bahan kayu dengan atap dari bahan ijuk. Bentuk desain Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara selain sebagai wujud seni budaya Pakpak, setiap bentuk desain dari bagian-bagian Rumah Adat Pakpak tersebut memiliki arti tersendiri. Jika diteliti dengan cermat dan diketahui maknanya, maka cukup dengan melihat rumah adat Pakpak akan bisa mendeskripsikan bagaimana Suku Pakpak berbudaya. Bentuk dan Arti Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara
Bubungan atap : Bentuk melengkung, dalam bahasa Daerah Pakpak-Dairi disebut: “Petarik-tarik Mparas ingenken ndengel”, artinya: “Berani memikul resiko yang berat dalam mempertahankan adat istiadat”.
Tampuk bubungan yang bersimbolkan “Caban”, artinya : “Simbol kepercayaan Puak Pakpak“
Tanduk kerbau yang melekat dibubungan atap, artinya: “Semangat kepahlawanan Puak Pakpak”.
Bentuk segitiga pada Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara, artinya menggambarkan susunan adat istiadat Puak Pakpak dalam kekeluargaan yang terbagi atas tiga bahagian atau unsur besar sebagai berikut:(a). SENINA, adalah saudara kandung laki laki, (b). BERRU, adalah saudara kandung perempuan, (c). PUANG”, adalah kemanakan.
Dua buah tiang besar disebelah muka rumah “Binangun”, artinya “Kerukunan rumah tangga antara suami istri”.
Satu buah balok besar yang dinamai “Melmellon” Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara yang melekat disamping muka rumah, menggambarkan “Kesatuan dan Persatuan dalam segala bidang pekerjaan melalui musyawarah, atau lebih tepat disebut “Gotong royong”.
Ukiran-ukiran yang terdapat pada segitiga muka Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara yang bentuknya bermacam macam corak, dalam bahasa daerah Pakpak  disebut: (a). Perbunga Kupkup, (b). Perbunga kembang,(c). Perbunga Pancur, dan sebagainya yang menggambarkan bahwa puak Pakpak pun berdarah dan berjiwa seni.
Tangga Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara yang biasanya terdiri dari bilangan ganjil, 3 (tiga), 5 (lima) dan 7 (tujuh), menggambarkan bahwa penghuni rumah itu adalah keturunan raja (marga tanah), sebaliknya yang memakai tangga rumah genap, menandakan bahwa penghuni rumah tersebut bukan keturunan marga tanah (genengen).
Pintu masuk dari bawah kolong rumah menunjukkan kerendahan hati dan kesiapsiagaan.
Fungsi Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara :
1. Penggunaaan rumah adat : Rumah adat adalah tempat permusyawaratan mengenai masalah yang menyangkut kepentingan umum dan tempat mengadakan upacara upacara adat istiadat.
2. Isi Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara adalah :
  • Genderang,
  • Garantung,
  • Serunai,
  • Sordan, labat, taratoa, seruling, semuanya alat alat kesenian daerah.
  • Patung panglima atau pahlawan pahlawan, dan
  • Mejan, ditempatkan dihalaman rumah.
3. Pilo-pilo yang digantung dalam segitiga dipermukaan Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara menggambarkan adanya hubungan yang harmonis antara masyarakat dan pemimpinnya dan sebagai lambang kebijaksanaan pimpinan dalam mengayomi masyarakatnya.
4. Gambar lidah payung menggambarkan kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya yang senantiasa memberikan bantuan dalammemelihara kesentosaan dan kesejahteraan masyarakat.

Rumah Adat Karo Sumatera Utara –


Rumah Adat Karo Sumatera Utara
Rumah Adat Karo Sumatera Utara

 Rumah adat merupakan salah satu aset kebudayaan bangsa ini. Setiap daerah memiliki rumah adat dengan ciri khas dan keunikan masing-masing. Namun, sayang semakin hari semakin banyak masyarakat daerah yang meninggalkan rumah adat dan beralih pada rumah biasa. Hanya sebagian daerah, orang, atau suku yang masih bertahan di rumah adat.
Salah satu rumah adat yang menarik ialah rumah adat Batak Karo. Rumah Adat Karo Sumatera Utara ini dikenal juga sebagai rumah adat Siwaluh Jabu. Siwaluh Jabu memiliki pengertian sebuah rumah yang didiami delapan keluarga. Masing-masing keluarga memiliki peran tersendiri di dalam rumah tersebut.
Rumah Adat Karo Sumatera Utara ini berbeda dengan rumah adat suku lainnya dan kekhasan itulah yang mencirikan rumah adat Karo. Bentuknya sangat megah diberi tanduk. Proses pendirian sampai kehidupan dalam rumah adat itu diatur oleh adat Karo, dan karena itulah disebut rumah adat.
Penempatan keluarga-keluarga dalam Rumah Adat Karo Sumatera Utara ditentukan oleh adat Karo. Secara garis besar rumah adat ini terdiri atas jabu jahe (hilir) dan jabu julu (hulu). Jabu jahe juga dibagi menjadi dua bagian, yaitu jabu ujung kayu dan jabu rumah sendipar ujung kayu.
Tetapi, ada kalanya Rumah Adat Karo Sumatera Utara terdiri atas delapan ruang dan dihuni oleh delapan keluarga. Sementara dalam rumah ini hanya ada empat dapur. Masing-masing jabu dibagi dua sehingga terbentuk jabu-jabu sedapuren bena kayu, sedapuren ujung kayu, sedapuren lepar bena kayu, dan jabu sedapuren lepar ujung kayu.
Rumah adat Siwaluh Jabu, Rumah Adat Karo Sumatera Utara. Rumah ini bertiang tinggi dan satu rumah biasanya dihuni atas satu keluarga besar yang terdiri dari 4 sampai 8 keluarga Batak. Di dalam rumah tak ada sekatan satu ruangan lepas. Namun pembagian ruangan tetap ada, yakni di batasi oleh garis-garis adat istiadat yang kuat, meski garis itu tak terlihat. Masing-masing ruangan mempunyai nama dan siapa yang harus menempati ruangan tersebut, telah ditentukan pula oleh adat. Urutan ruangan dalam rumah Siwaluh jabu adalah sebagai berikut :
  •  Jabu bena kayu yaitu ruangan di depan sebelah kiri, didiami oleh pihak marga tanah dan pendiri kampung. Ia merupakan pengulu atau pemimpin rumah tersebut.  Jabu sedapur bena kayu yaitu ruangan berikutnya yang satu dengan jabu bena kayu, juga dinamai Sinenggel-ninggel. Rumah Adat Karo Sumatera Utara, ruang ini didiami oleh pihak Senina yakni saudara-saudaranya yang bertindak sebagai wakil pemimpin rumah tersebut. Sedapat artinya satu dapur, karena setaip 2 ruangan maka di depannya terdapat dapur yang dipakai untuk 2 keluarga.
  • Jabu ujung kayu, dinamai Jabu Sungkun Berita, didiami oleh anak Beru Toa, yang bertugas memecahkan setiap masalah yang timbul.
  • Jabu sedapur ujung kayu yaitu ruangan sedapur dengan jabu ujung kayu, dinamai Jabu Silengguri. Jabu ini didiami oleh anak beru dari jabu Sungkun Berita.
  • Jabu lepan bena kayu, yakni ruangan yang terletak berseberangan dengan jabu bena kayu, dinamai jabu simengaloken didiami oleh Biak Senina.
  • Jabu sedapur lepan bena kayu yaitu ruangan yang sedapur dengan jabu lepan bena kayu, didiami oleh Senina Sepemeren atau Separiban.
  • Jabu lepan ujung kayu, didiami oleh Kalimbuh yaitu pihak pemberi gadis, ruangan ini disebut Jabu Silayari.
  • Jabu sedapur lepan ujung kayu yaitu ruangan yang sedapur dengan jabu lepan ujung kayu. Rumah Adat Karo Sumatera Utara, ruangan ini didiami oleh Jabu Simalungun minum, didiami oleh Puang Kalimbuh yaitu Kalimbuh dari jabu silayari. Kedudukan Kalimbuh ini cukup dihormati didalam adat.
Demikian artikel tentang Rumah Adat Karo Sumatera Utara semoga bisa menambah wawasan anda dan bermanfaat tentunya dan terimakasih atas perhatian dan kunjunganya

Rumah Adat Batak Toba Sumatera Utara –


Rumah Adat Batak Toba Sumatera Utara
Rumah Adat Batak Toba Sumatera Utara

 Rumah Adat Batak Toba disebut Rumah Bolon, yang memiliki bangunan empat persegi panjang yang kadang-kadang ditempati oleh 5 sampai 6 keluarga. Memasuki Rumah Bolon ini harus menaiki tangga yang terletak di tengah-tengah rumah, dengan jumlah anak tangga yang ganjil. Bila orang hendak masuk rumah tersebut, harus menundukkan kepala agar tidak terbentur pada balok yang melintang. Rumah Adat Batak Toba Sumatera Utara, Hal ini diartikan tamu harus menghormati si pemilik rumah.
Lantai Rumah Adat Batak Toba Sumatera Utara ini kadang-kadang sampai 1,75m di atas tanah dan bagian bawah dipergunakan untuk memelihara hewan, seperti babi, ayam, dan sebagainya. Pintu masuk Rumah Adat Batak Toba Sumatera Utara ini, dahulunya memiliki 2 macam daun pintu yaitu daun pintu yang horizontal dan vertikal, tapi sekarang daun pintu yang horizontal tak dipakai lagi.
Ruangan dalam rumah adat merupakan ruangan terbuka tanpa kamar-kamar, walaupun bersamaan disitu lebih dari satu keluarga, tapi bukan berarti tidak ada pembagian ruangan. Karena dalam Rumah Adat Batak Toba Sumatera Utara ini pembagian ruangan dibatasi oleh adat mereka yang kuat.
Ruangan di belakang sudut sebelah kanan dinamakan jabu bong, yang ditempati oleh kepala rumah atau porjabu bong, dengan isteri dan anak-anak yang masih kecil. Namun di sudut kiri berhadapan dengan Jabu bong dinamakan Jabu Soding, yang dikhususkan untuk anak perempuan yang telah menikah tapi belum mempunyai rumah sendiri. Sedangkan untuk sudut kiri depan dinamakan Jabu Suhat, diperuntukkan bagi anak laki-laki tertua yang sudah nikah dan di seberangnya disebut Tampar Piring diperuntukkan bagi tamu.
Jika keluarga besar maka diadakan tempat di antara dua ruang atau jabu yang berdempetan, sehingga ruangan bertambah dua lagi dan ruangan ini disebut Jabu Tonga-ronga ni jabu rona. Walaupun Rumah Adat Batak Toba Sumatera Utara tersebut berdempetan, tiap keluarga mempunyai dapur sendiri yang terletak di belakang rumah, berupa bangunan tambahan. Dan di antara dua deretan ruangan yakni di tengah-tengah rumah merupakan daerah netral yang disebut telaga dan berfungsi sebagai tempat bermusyawarah.
Rumah Adat Batak Toba Sumatera Utara berdasarkan fungsinya dapat dibedakan ke dalam rumah yang digunakan untuk tempat tinggal keluarga disebut ruma, dan rumah yang digunakan sebagai tempat penyimpanan (lumbung) disebut Sopo. Bahan-bahan bangunan terdiri dari kayu dengan tiang-tiang yang besar dan kokoh. Dinding dari papan atau tepas, lantai juga dari papan sedangkan atap dari ijuk atau daun rumbiah. Tipe khas Rumah Adat Batak Toba Sumatera Utara adalah bentuk atapnya yang melengkung dan pada ujung atap sebelah depan.
Demikian informasi mengenai Rumah Adat Batak Toba Sumatera Utara semoga bermanfaat dan berguna untuk menambah wawasan anda mengenai kekayaan budaya indonesia yang kaya ini, sekian dan terimakasih atas kunjunganya
Artikel yang terkait dengan Rumah Adat Batak Toba Sumatera Utara : rumah adat batak toba image, rumah adat batak toba wallpaper, rumah adat batak toba picture, gambar rumah adat batak toba, rumah adat batak toba pictures, nama rumah adat batak toba, rumah adat batak toba atau jabu bolon adalah rumah untuk, Rumah Adat Batak Toba Sumatera Utara, rumah adat batak toba graphic

Rumah Adat Batak Simalungun Bolon


Rumah Adat Batak Simalungun Bolon
Rumah Adat Batak Simalungun Bolon

Rumah Adat Batak Simalungun Bolon – Sub etnis Batak Simalungun berdiam di sebagian wilayah Deli Serdang sebelah Timur Danau Toba. Rumah adatnya berbentuk panggung dengan lantai yang sebagian disangga balok-balok besar berjajar secar horizontal bersilangan. Balok-balok ini menumpu pada pondasi umpak. Dinding rumah agak miring dan memilliki sedikit bukaan/jendela. Atapnya memilliki kemiringan yang curam dengan bentuk perisai pada sebagian besar sisi bawah, sedang sisi atas berbentuk pelana dengan gevel yang miring menghadap ke bawah. Pada ujung atas gevel biasanya dihiasi dengan kepala kerbau. Tanduknya dari kerbau asli dan kepalanya dari injuk yang dibentuk. Bagian-bagian  konstruksi Rumah Adat Batak Simalungun Bolon diukir, dicat serta digambar dengan warna merah, putih dan hitam. Selain sarat dengan nilai filosofis, ornamentasi rumah memiliki keunggulan dekoratif dalam memadukan unsur alam dan manusia dengan unsur geometris.

Rumah Adat Batak Simalungun Bolon menyampaikan sebuah ungkapan pertemuan masyarakat dapat dimunculkan dengan bentuk geometri segi empat yang ditengahnya diberi lingkaran lalu diberi corak ragam hias manusia beruang berkeliling lingkaran. Menyampaikan sebuah ungkapan hubungan dua manusia ditampilkan dengan bentuk geometri kotak melambangkan dekorasi badan manusia di mana bagian atas dan bawahnya diberi kepala dalam posisi berlawanan arah. Corak ragam ornamen Rumah Adat Batak Simalungun Bolon ini selalu berulang, melalui proses tradisi turun temurun, berkembang dan berpadu saling melengkapi dengan bentuk dekorasi lain.
Masyarakat Batak Simalungun mempercayai adanya kekuatan roh halus, membedakannya dari yang baik dan jahat. Untuk menolak yang jahat agar tidak mengganggu penghuni Rumah Adat Batak Simalungun Bolon juga diwujudkan dengan ornamentasi konstruksi rumah dengan bentuk tertentu.
Hiasan penolak roh jahat ini dapat berupa kepala manusia dan bentuk-bentuk yang runcing. Hiasan lain Rumah Adat Batak Simalungun Bolon yang khas adalah pengecatan pada penampang balok-balok horizontal di kolong rumah. Balok-balok berbentuk silinder ini hanya berposisi 2 modul struktur pada bagian depan rumah. Di bagian belakangnya digantikan tiang-tiang yang berposisi vertikal.
Denah rumah memanjang ke belakang dengan tiga modul struktur di bagian depan dan 5 sampai 7 modul ke belakang. Dua pintu terletak di bagian depan dan belakang. Untuk mencapai rumah digunakan anak tangga yang berjumlah ganjil. Satu modul struktur bagian depan tidak berdinding dan digunakan sebagai beranda/teras. Bagian tengah Rumah Adat Batak Simalungun Bolon ini juga dihilangkan dan digantikan dengan tangga utama menuju rumah. Dengan demikian terbentuk teras yang berjumlah dua dan berada di kiri-kanan tangga utama. Karena teras berada satu level dengan lantai rumah panggung maka posisinya di atas. Untuk mengamankan dibuat pagar mengelilingi teras.
Demikian artikel tentang Rumah Adat Batak Simalungun Bolon ini semoga bermanfaat dan bisa menambah informasi tentang kebudayaan yang dada di Indonesia.

ALAT MUSIK TRADISIONAL

Ogung merupakan alat musik sekaligus alat komunikasi yang digunakan oleh masyarakat batak. Ogung itu sendiri berbentuk gong dengan ukuran yang bervariasi. Ogung adalah salah satu bagian daripada Gondang Sabangunan (terdiri dari Taganing, Ogung, Sarune dan Hesek), yang dipakai untuk upacara adat seperti upacara meninggal orang tua yang sudah punya cicit, menggali tulang belulang orang tua untuk dipindahkan ke bangunan yang telah disediakan, bahkan pada upacara adat perkawinan.
  
Sampai sekarang asal mula ogung di tanah batak masih menjadi misteri. Banyak cerita yang melatarbelakangi asal usul ogung. Ada yang berpendapat bahwa ogung adalah buatan masyarakat batak itu sendiri, sebab ogung merupakan salah satu bagian dari Gondang Sabangunan, alat musik tradisional Batak yang diyakini semuanya dibuat oleh nenek moyang orang batak dan hanya dipakai oleh orang batak. Namun ada pendapat lain bahwa ogung bukanlah produk asli orang batak, tetapi berasal dari luar Sumatera Utara. Ada yang mengatakan bahwa ogung berasal dari Pulau Jawa, tapi ada juga yang mengatakan bahwa ogung berasal dari India.[1]




 

Macam-macam

Seiring dengan banyaknya sub-etnis dalam suku batak itu sendiri (terdiri dari Toba, Karo, Mandailing, Angkola-Sipirok, Simalungun dan Pakpak), setiap sub-etnis memiliki perangkat ogungnya sendiri.[2] Penamaan ogung yang berbeda disebabkan perbedaan latar budaya. Berikut adalah macam-macam ogung dari setiap subetnis:

Sub-etnis Toba

  1. Ogung Panggora: Panggora memiliki arti “yang berseru, memberi efek kejut”. Disebut demikian karena bunyinya yang menggelegar dank eras dibandingkan ogung-ogung lainnya.
  2. Ogung Ihutan :Dinamai Ogung Ihutan karena tugasnya mengikuti bunyi ogung oloan. Ikutan berarti “yang mengikuti”. Nama lain ogung ini adalah pangalusi berarti “jawaban”. Ogung ini memiliki nada yang lebih tinggi dibandingkan Ogung Oloan.
  3. Ogung Doal: Ogung ini berfungsi menambah variasi bunyi ogung saja, dengan menambah ritme tambahan, terdiri atas beberapa jenis, antara lain:
    1. Ogung Doal Oloan: Ogung yang memiliki nada rendah. Ogung ini menghasilkan bunyi yang beritme konstan supaya diikuti bunyi ogung lainnya. Hal ini yang menyebabkan ogung ini dinamai oloan yang berarti “diikuti” Disebut-sebut sebagai kepala pemimpin semua ogung.
  4. Ogung Jeret

Sub-etnis Karo

  • Ogung Gung
Jenis ogung ukuran besar.
  • Ogung Panganak (anak ogung)
Jenis ogung yang lebih kecil dari Gung.

Sub-etnis Mandailing dan Angkola-Keprok

Kedua sub-etnis ini memiliki penamaan ogung yang sama, yaitu:
  • Ogung Jantan (laki-laki) dan Ogung Dadaboru (perempuan)
Kedua ogung ini adalah yang terbesar dari ogung lain
  • Ogung Pamulosi, Panongahi, dan Pandoali
Ketiganya merupakan ogung yang lebih kecil dari Ogung Jantan dan Dadaboru. Sering disebut sebagai Ogung Mong-mongan

Sub-etnis Simalungun

  • Ogung Sibanggalan (besar) dan Ogung Sietekan (lebih kecil)
Keduanya merupakan ogung besar, hanya saja punya ukuran berbeda.
  • Ogung Mong-mongan
Terdiri dari dua buah ogung kecil.

Sub-etnis Pakpak

Terdiri dari tiga ogung yaitu Takudep, Poi, dan Pongpong.

Kualitas

Kualitas ogung milik orang Batak sebenarnya sama saja dengan gong lainnya di pelosok daerah di Indonesia, yaitu terbuat dari logam, berdiameter 16-65 cm, memiliki ketebalan kisaran 2,5-10 cm, dan memiliki pencu (bagian tengah ogung yang menonjol keluar). Akan tetapi, walaupun dewasa ini banyak bermunculan pengrajin ogung di tanah batak, beberapa pemusik batak lebih menyukai gong yang berasal dari Pulau Jawa, karena bunyinya yang lebih enak didengar.

Kepemilikan

Setiap sub-etnis dalam masyarakat Batak punya karakteristik kepemilikan ogung. Pada orang Karo, ogung wajib hukumnya dimiliki setiap desa sehingga semua warga di desa tertentu bersama-sama memiliki dan merawat ogung itu. Berbeda dengan orang Karo, orang Pakpak menganggap ogung adalah benda mewah dan berharga. Jika sebuah keluarga memiliki ogung, hal ini pertanda bahwa keluarga ini orang terpandang. Itulah sebabnya ogung bagi orang Pakpak identik dengan “raja” dan “harta” sebab yang memiliki ogung biasanya keluarga kerajaan atau orang kaya.[3]

Fungsi

Seperti telah disebutkan di atas, ogung berfungsi sebagai alat musik tradisional. Namun di lain sisi, ogung memiliki fungsi lain yang dikhususkan dalam masyarakat batak. Pada zaman dahulu kala dimana belum ada alat komunikasi canggih seperti sekarang ini, ogung digunakan sebagai alat komunikasi dengan masyarakat setempat bila terjadi hal-hal tertentu yang urgent, seperti misalnya ada kebakaran, ada pencuri, ada penyusup yang dicurigai, dll. Terutama bila memanggil orang untuk mengadakan pertemuan tertentu oleh masyarakat itu. Demikianlah fungsi ogung sebagai alat komunikasi dalam masyarakat batak, dimana yang dipergunakan hanya satu tipe, bukan secara keseluruhan seperti di Gondang Sabangunan.

Penggunaan zaman sekarang

Seiring dengan perkembangan zaman, popularitas ogung sebagai alat komunikasi dalam masyarakat batak mulai menurun. Hal ini disebabkan banyaknya inovasi alat komunikasi baru semacam telepon, handphone, bahkan social networking yang diminati banyak masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat batak di Sumatera Utara. Oleh karena itu ogung hanya digunakan untuk event-event tertentu misalnya pengesahan gedung,dll. Bukan hanya itu saja popularitas ogung juga lebih dikenal sebagai bagian dari alat musik tradisional Batak, Gondang Sabangunan yang sering mengiringi acara-acara khas Batak, contohnya acara reuni tahunan marga tertentu atau perkawinan adat.

BUSANA TRADISIONAL

Kehidupan masyarakat suku bangsa Batak, tidak terlepas dari penggunaan kain ulos, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berbagai upacara adat. Ulos pada mulanya identik dengan ajimat, dipercaya mengandung "kekuatan" yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan. Menurut beberapa penelitian penggunaan ulos oleh suku bangsa Batak, memperlihatkan kemiripan dengan bangsa Karen di perbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos, khususnya pada ikat kepala, kain dan ulosnya.

Sebelum orang Batak (Toba, Karo, Simalungun) mengenal tekstil buatan luar, ulos (disebut Uis oleh suku bangsa Batak Karo ) adalah pakaian sehari-hari. Bila dipakai oleh laki-laki bagian atasnya disebut ande-hande, sedangkan bagian bawahnya disebut singkot. Sebagai penutup kepala disebut tali-tali, bulang-bulang, sabe-sabe atau detar. Sudah barang tentu tidak semua ulos dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ulos jugia, sadum, ragi hotang, ragidup, dan runjat, hanya dapat dipakai pada waktu-waktu tertentu. Dalam keseharian, laki-laki Batak menggunakan sarung tenun bermotif kotak-kotak (terkadang diganti dengan ulos yang disebut singkot), tali-tali (tutup kepala) serta baju berbentuk kemeja kurung berwarna hitam, tanpa alas kaki.

Kain ulos yang dipakai orang-orang Batak pada upacara-upacara adat, umumnya diselempangkan di pinggangnya atau juga sebagai selendang. Khusus bagi suku Batak Pak pak dan Dairi, ulos yang digunakan dominan berwarna hitam.
Pada suku Batak Simalungun pakaian yang dipakai antara lain bulang yang terbuat dari kain ulos dengan motif gatip dan pakaian sehari-hari yang terbuat dari ulos yang disebut jobit. Disamping bulang ada juga ulos suri suri sebagai tutup kepala. Pada suku Batak Toba, mereka memakai pakaian biasa, baju dan celana, dilengkapi dengan ulos di kepala (biasanya ulos mangiring) dan setengah badan. Kadang-kadang diselempangkan (menggunakan ulos ragihotang), dilengkapi dengan sarung. Dalam upacara perkawinan kain ulos lebih tampak pada pakaian pengantin. Mempelai laki-laki memakai baju jas tutup warna putih, sedangkan bagian bawah memakai ulos dari jenis ragi pane.

Bila ulos dipakai oleh perempuan Batak Toba, bagian bawah disebut haen, dipakai hingga batas dada. Untuk penutup punggung disebut hoba-hoba, dan bila dipakai berupa selendang disebut ampe-ampe. Untuk tutup kepala disebut saong. Apabila seorang wanita sedang menggendong anak disebut parompa. Dalam keseharian perempuan Batak aslinya memakai kain blacu hitam (dapat diganti dengan ulos disebut haen ) dengan dan baju kurung panjang yang umumnya berwarna hitam, serta tutup kepala yang disebut saong. Saat ini kain blacu hitam selain diganti dengan ulos, juga telah diganti dengan sarung tenunan bercorak kotak-kotak.

Pada upacara secara umum wanita Batak menggunakan ulos sebagai penghias bahu/selendang, penutup kepala dan juga sebagai penutup dada, dan dilengkapi dengan sarung suji. Khusus pada perempuan suku bangsa Batak Pak pak/Dairi, Karo dan Simalungun menggunakan ulos yang berbentuk tudung sebagai pelindung panasnya matahari.

Pakaian pengantin perempuan Batak Karo terdiri dari baju tutup dengan lengan panjang, sedangkan bagian bawah memakai sarung sungkit yang dililit dengan kain ulos. Pada busana pengantin perempuan Batak Toba hampir semua pakaian yang dipakai terdiri dari kain ulos yang salah satunya diselempangkan pada kedua bahu sampai ke badan (biasanya jenis ulos sadum), dan dililit dengan ulos ragi hotang. Pada suku bangsa Batak Simalungun, kedua pengantin memakai tudung kepala yang terbuat dari ulos suri-suri. Pada pesta perkawinan wanita suku bangsa Mandailing/Angkola menurut adat menggunakan tata busana yang terdiri dari : bulang yang diikatkan pada kening. Bulang terbuat dari emas, tetapi kini sudah banyak yang terbuat dari logam yang diberi sepuhan emas. Bulang terdiri dari tiga macam, masing-masing bertingkat bertingkat tiga disebut bulang harbo (bulang kerbau), bertingkat dua atau disebut bulang hambeng (bulang kambing) dan tidak bertingkat. Penamaan bulang ini dikaitkan dengan jenis hewan yang disemblih. Misalnya penggunaan bulang bertingkat tiga bila hewan yang disemblih adalah kerbau. Bulang mengandung makna sebagai lambang kebesaran atau kemuliaan sekaligus sebagai simbol dari struktur masyarakat. Bagian atas badan tertutup oleh baju berwarna hitam yang dahulu dibuat dari kain beludru berbentuk baju kurung tanpa diberi hiasan atau sulaman. Belakangan ini baju pengantin wanita kadang-kadang diberi sulaman. Baju pengantin ini disebut baju godang atau baju kebesaran. Bagian bawah badan tertutup kain songket dengan warna yang tidak ditentukan, tergantung selera pemakai. Dua lembar selendang yang disilangkan pada bagian dada sampai ke punggung. Pada masa lalu, selendang terbuat dari kain tonun petani (kain tenunan petani). Dewasa ini selendang terbuat dari kain songket. Untuk selendang pengantin, kadang-kadang juga menggunakan kain polos tanpa warna tertentu. Arti perlambang pada selendang adalah lambang dalihan na tolu, tampak dari segitiga yang dibentuk dengan selendang yang disilangkan itu. Sisi kiri melambangkan mora (kerabat pemberi anak gadis), sisi kanan melambangkan kahanggi (kerabat satu marga), dan bagian bawah melambangkan anak boru (kerabat penerima gadis). Pada daerah pinggang dipakai Bobat atau ikat pinggang yang dahulu terbuat dari emas dan kadang-kadang berkepala dengan ornamen kepala ular naga yang melambangkan
keagungan. Alas kaki menggunakan selop atau sandal yang biasanya tertutup pada bagian depan atasnya. Selop hanya berfungsi praktis tanpa mengadung arti perlambang. Bagian penutup selop kadang kadang diberi hiasan, seperti sulaman benang emas yang hanya berfungsi estetika tanpa arti perlambang.

Pengantin pria menggunakan busana yang terdiri dari : ampu atau penutup kepala dengan bentuk khas Mandailing/Angkola yang terbuat dari kain dan bahan lain. Diberi ornamen warna emas makna simbolik sebagai lambang keagungan orang yang memakainya. Ampu merupakan mahkota yang biasanya dipergunakan oleh raja-raja di Mandailing dan Angkola pada masa lalu. Warna hitam ampu mengandung fungsi magis sedangkan warna emas mengandung lambang kebesaran. Bagian samping kanan ampu yang salah satu ujungnya mengarah ke atas dan satu lagi ke bawah mengandung arti bahwa yang paling berkuasa adalah Tuhan dan manusia pada akhirnya mati dan dikubur. Pada masa dahulu, pengantin pria kadang kadang mengenakan tutup kepala yang dinamakan serong barendo yang terbuat dari kain warna hitam yang diberi renda atau rumbai-rumbai. Cara memakainya hampir sama dengan destar atau tengkuluk (topi), tetapi ujungnya dilipat ke arah kening sehingga terjuntai sedikit di atas kening bersama renda atau rumbai yang terbuat dari benang emas. Baju, godang (baju kebesaran) yang pada masa lalu berbentuk jas tutup, terbuat dari kain lakan berwarna hitam. Pada masa sekarang menggunakan jas biasa berwarna hitam yang dilengkapi dengan kemeja lengan panjang dan dasi. Baju Godang mengandung makna keagungan. Celana panjang atau pantalon tanpa warna tertentu. Bobat (ikat pinggang) yang dahulu biasanya terbuat dari emas atau perak. Tetapi sekarang sudah umum menggunakan ikat pinggang biasa. Pada masa lalu, ikat pinggang terbuat dari emas atau perak sebagai lambang kebesaran. Sisamping (kain sesamping) yang dibelitkan dari batas pinggang sampai ke lutut. Untuk si samping pada masa dahulu menggunakan abit Bugis (kain Bugis) atau kain sarung. Tetapi sekarang menggunakan kain songket. Sepatu sebagai alas kaki dahulu menggunakan alas kaki atau selop yang dinamakan capal yang terbuat dari kulit.

UPACARA KEMATIAN


tahap-tahap upacara kematian saur matua

Upacara kematian pada masyarakat Batak Toba merupakan pengakuan bahwa masih ada kehidupan lain dibalik kehidupan di dunia ini. Adapun maksud dan tujuan masyarakat Batak Toba untuk mengadakan upacara kematian itu tentunya berlatar belakang kepercayaan tentang kehidupan . Saur matua adalah orang yang meninggal dunia telah beranak cucu baik darianak laki-laki maupun anak perempuan. Saur artinya lengkap/sempurna dalam kekerabatan, telah beranak cucu. Karena yang telah meninggal itu adalah sempurna dalam kekerabatan, maka harus dilaksanakan dengan sempurna. Lain halnya dengan orang yang meninggal sari matua. Kalaupun suhut membuat acara adat sempurna sesuai dengan Adat Dalihan Na Tolu, hal seperti itu belum tentu dilakukan karena masih ada dari keturunannya belum sempurna dalam hal kekerabatan. Dalam melaksanakan sesuatu upacara harus melalui fase-fase (tahapan-tahapan) yang harus dilalui oleh setiap yang melaksanakannya. Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui adalah sebagai berikut:


1. Acara Sebelum Upacara di Mulai
Dalam kehidupan ini, setiap manusia dalam suatu kebudayaan selalu berkeinginan dan berharap dapat menikmati isi dunia ini dalam jangka waktu yang lama. Tetapi usaha untuk mencapai keinginan tersebut adalah di luar jangkauan manusia,karena keterbatasan, kemampuan dan akal pikiran yang dimiliki oleh manusia. Selain itu, setiap manusia juga sudah mempunyai jalan kehidupannya masing-masing yang telah ditentukan batas akhir kehidupannya. Batas akhir kehidupan manusia ini (mati) dapat terjadi dikarenakan berbagai hal,misalnya karena penyakit yang diderita dan tidak dapat disembuhkan lagi kecelakaan dan sebab-sebab lain yang tidak dapat diketahui secara pasti, maupun disebabkan penyakit.
Pada masyarakat Batak Toba, bila ada orangtua yang menderita penyakit yang sulit untuk disembuhkan, maka pada keturunanya beserta sanak famili biasanya melakukan acara adat khusus baginya, yang disebut dengan Manulangi (memberi makan). Sebelum diadakan acara manulangi ini, maka pada keturunannya beserta sanak famili lebih dahulu harus mengadakan musyawarah untuk menentukan berbagai persyaratan, seperti menentukan hari pelaksanaan adat panulangion itu, jenis ternak yang akan dipotong, dan jumlahnya serta biaya yang diperlukan untuk mempersiapkan makanan tersebut. Sesuai dengan hari yang sudah ditentukan, berkumpullah semua keturunan dan sanak famili di rumah orangtua tersebut dan dipotonglah seekor ternak babi untuk kemudian dimasak lagi dengan baik sebagai makanan yang akan disuguhkan untuk dimakan bersama-sama. Pada waktu itu juga turut diundang hula-hula dari suhut, dongan tubu, dan natua-tua ni huta (orang yang dituakan di kampung tersebut).
Kemudian acara panulangion dimulai dengan sepiring makanan yang terdiri dari sepiring nasi dan lauk yang sudah dipersiapkan, diberikan kepada orangtua tersebut oleh anak sulugnya. Pada waktu Eanulangi, si anak tersebut menyatakan kepada orangtuanya bahwa mereka sebenarnya khawatir melihat penyakitnya. Maka sebelum tiba waktunya, ia berharap agar orangtuanya dapat merestui semua keturunananya hingga beroleh umur yang panjang, murah rezeki dan tercapai kesatuan yang lebih mantap. Ia juga mendoakan agar orangtuanya dapat lekas sembuh. Setelah anaknya yang sulung selesai memberikan makan, maka dilanjutkan oleh adik-adiknya sampai kepada yang bungsu beserta cucu-cucunya. Sambil disuguhi makanan, semua keturunannya direstui dan diberi nasehat-nasehat. Pada waktu itu ada juga orangtua yang membagi harta warisannya walaupun belum resmi berlaku.
Setelah selesai memberi makan, maka selanjutnya keturunan dari orangtua itu harus manulangi hula-hulanya dengan makanan agar hula-hulanya juga memberkati mereka. Acara kemudian dilanjutkan dengan makan bersama-sama. Sambil makan, salah seorang dari pihak boru (suhut) memotong haliang (leher babi) dan dibagi-bagikan kepada hadirin. Setelah selesai makan, diadakanlah pembagian”jambar (suku-suku daging). Gaor bontar (kepala baglan atas sebelah kiri untuk boru (anak perempuan), Osang (mulut bagian bawah) untuk hula-hula, Hasatan (ekor) untuk keluarga suhut, soit (perut bagian tengah) untuk dongan sabutuha (teman semarga) dan jambar (potongan daging-daging) untuk semua yang hadir). Setelah pembagian jambar maka mulailah kata-kata sambutan yang pertama oleh anak Sulung dari orangtua ini dilanjutkan dari pihak boru, dongan sabutuha, dongan sahuta, dan terakhir dari hula-hula.
Setelah selesai kata mangampui, maka acarapun selesai dan diadakanlah doa penutup. Setelah acara panulangion itu selesai, maka pada hari berikutnya pihak hula-hula pergi menjenguk orangtua tadi dengan membawa dengke (ikan) dan sehelai ulos (kain adat batak) yang disebut ulos mangalohon ulos naganjang (memberikan kain adat). Ketika hula-hula menyampaikan makanan itu kepada orangtua yang sakit, disitulah merka memberikan ulos naganjang kepada orangtua itu dengan meletakkannya di atas pundak (bahu) orangtua tersebut. Tujuan dari pemberian ulos dan makanan ini adalah supaya orangtua tersebut cepat sembuh, berumur panjang dan dapat membimbing semua keturunannya hingga selamat dan sejahtera di hari-hari mendatang.
Setelah pemberian ikan dan ulos itu maka pihak boru brdoa dan menyuguhkan daging lengkap dengan suku-sukunya kepada pihak hula-hula. Pada waktu yang ditentukan oleh Yang Maha Kuasa, akhirnya orangtua yang gaur matua itu meninggal dunia, maka semua keluarga menangis dan ada yang meratap sebagai pertanda bahwa sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berpisah. Sesudah mayat tersebut dibersihkan maka dikenakan pakaian yang rapi dan
diselimuti dengan kain batak (ulos). selanjutnya dibaringkan di ruang tengah yang kakinya mengarah ke jabu (bona rumah suhut). Pada saat yang bersamaan, pihak laki-laki baik dari keturunan orangtua yang meninggal maupun sanak saudara berkumpul di rumah duka dan membicarakan bagaimana upacara yang akan dilaksanakan kepada orangtua yang sudah saur matua itu. Dari musyawarah keluarga akan diperoleh hasil-hasil dari setiap hal yang dibicarakan. Hasil-hasil ini dicatat oleh para suhut untuk kemudian untuk dipersiapkan ke musyawarah umum. penentuan hari untuk musyawarah umum ini juga sudah ditentukan. Dan mulailah dihubungi pihak famili dan mengundang pihak hula-hula, boru, dongan tubu. raja adat, parsuhuton supaya hadir dalam musyawarah umum (Mangarapot). Sesudah acara mangarapot selesai, maka diadakanlah pembagian tugas bagi pihak hasuhuton. Beberapa orang dari pihak hasuhuton pergi mengundang (Manggokkon hula-hula, boru, dongan sabutuha (yang terdiri dari ternan semarga, teman sahuta, teman satu kampung) serta sanak saudara yang ada di rantau. Pihak suhut lainnya ada yang memesan peti mayat, membeli dan mempersiapkan beberapa ekor ternak (kerbau atau babi atau yang lainnya) sebagai makanan pesta atau untuk borotan.
Mereka yang bekerja pada saat upacara adalah pihak boru yang disebut Parhobas. Dan sebagian dari pihak suhut mempersiapkan pakaian adat untuk keturunan orangtua yang meninggal saur matua itu, yaitu semua anak laki-lakinya, cucu lakilaki dari yang pertama (sulung) dan cucu laki-laki dari anaknya perempuan.Pakaian adat ini terdiri dari ulos yang diselempangkan di atas bahu dan topi adat yang dipakai di atas kepala. Pihak boru lainnya pergi mengundang pargonsi dengan memberikan napuran tiar (sirih) yang diletakkan di atas sebuah piring beserta dengan uang honor dari pargonsi selama mereka memainkan gondang sabangunan dalam upacara saur matua. pemberian napuran tiar ini menunjukkan sikap hormat kepada pargonsi agar pargonsi bersedia menerima undangan tersebut dan tidak menerima undangan lain pada waktu yang bersamaan.
2. Acara Pelaksanaan Upacara Kematian Saur Matua

Setelah keperluan upacara selesai dipersiapkan barulah upacara kematian gaur matua ini dapat dimulai. Pelaksanaan upacara kematian saur matua ini terbagi atas dua bagian yaitu :
1. Upacara di jabu (di dalam rumah) termasuk di dalamnya upacara di jabu menuju maralaman (upacara di rumah menuju ke halaman).
2. Upacara maralaman (di halaman) Kedua bentuk upacara inilah yang dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba sebelum mengantarkan jenazah ke liang kubur.
1. Upacara di jabu (di dalam rumah)
Pada saat upacara di jabu akan dimulai, mayat dari orangtua yang meninggal dibaringkan di jabu bona (ruang tamu). Letaknya berhadapan dengan kamar orangtua yang meninggal ataupun kamar anak-anaknya dan diselimuti dengan ulos sibolang. Suami atau isteri yang ditinggalkan duduk , di sebelah kanan tepat di samping muka yang meninggal. Kemudian diikuti oleh anak laki-laki mulai dari anak yang paling besar sampai anak yang paling kecil. Anak perempuan dari orangtua yang meninggal, duduk di sebelah kiri dari peti mayat. Sedangkan cucu dan cicitnya ada yang duduk di belakang atau di depan orangtua meeka masing-masing. Dan semua unsur dari dalihan natolu sudah hadir di rumah duka dengan mengenakan ulos.

Upacara di jabu ini biasanya di buka pada pagi hari (sekitar jam 10.00 Wib) oleh pengurus gereja. Kemudian masing-masing unsur dalihan natolu mengadakan acara penyampaian kata-kata penghiburan kepada suhut. Ketika acara penyampaian kata-kata penghiburan oleh unsur-unsur dalihan natolu sedang berlangsung, diantara keturunan orangtua yang meninggal masih ada yang menangis.
Pada saat yang bersamaan, datanglah pargonsi sesuai dengan undangan yang disampaikan pihak suhut kepada mereka. Tempat untuk pargonsi sudah dipersiapkan lebih dahulu yaitu di bagian atas rumah (bonggar). Kemudian pargonsi disambut oleh suhut dan dipersilahkan duduk di jabu soding (sebelah kiri ruang rumah yang beralaskan tikar. Lalu suhut menjamu makan para pargonsi dengan memberikan sepiring makanan yang berisi ikan (dengke) Batak, sagu-sagu, nasi, rudang, merata atau beras yang ditumbuk dan disertai dengan napuran tiar (sirih).
Setelah acara makan bersama para pargonsi pun mengambil tempat mereka yang ada di atas rumah dan mempersiapkan instrumen-instrumen mereka masing-masing. Umumnya semua pemain duduk menghadap kepada yang meninggal. Kegiatan margondang di dalam rumah biasanya dilakukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari harinya dipergunakan pargonsi untuk istirahat. Dan pada malam hari tiba, pargonsi pun sudah bersiap-siap untuk memainkan gondang sabangunan. Kemudian pargonsi memainkan gondang Lae-lae atau gondang elek-elek, yaitu gondang yang memeberitahukan danmengundang masyarakat sekitarnya supaya hadir di rumah duka untuk turut menari bersama-sama.
Gondang ini juga dijadikan sebagai pengumuman kepada masyarakat bahwa ada orang tua yang meninggal saur matua. Dan pada saat gondang tersebut berbunyi, pihak suhut juga bersiap-siap mengenakan ulos dan topi adat karena sebentar lagi kegiatan margondang saur matua akan dimulai. Kemudian diaturlah posisi masing-masing unsur Dalihan Natolu. Pihak suhut berdiri di sebelah kanan yang meninggal, boru disebelah kiri yang meninggal dan hula-hula berdiri di depan yang meninggal. Jika masih ada suami atau isteri yang meninggal maka mereka berdiri di sebelah kanan yang meninggal bersama dengan suhut hanya tapi mereka paling depan.
Kemudian kegiatan margondang dibuka oleh pengurus gereja (pangulani huria). Semua unsur Dalihan Natolu berdiri di tempatnya masingmasing. pengurus gereja berkata kepada pangonsi agar dimainkan gondang mula-mula. Gondang ini dibunyikan untuk menggambarkan bahwa segala yang ada di dunia ini ada mulanya, baik itu manusia, kekayaan dan kehormatan.
2. Gondang ke dua yaitu gondang yang indah dan baik (tanpa ada menyebutkan nama gondangnya). Setelah gondang berbunyi, maka semua menari.
3. Gondang Liat-liat, para pengurus gereja menari mengelilingi mayat memberkati semua suhut dengan meletakkan tangan yang memegang ulos ke atas kepala suhut dan suhut membalasnya dengan meletakkan tangannya di wajah pengurus gereja.
4. Gondang Simba-simba maksudnya agar kita patut menghormati gereja. Dan pihak suhut menari mendatangi pengurus gereja satu persatu dan minta berkat dari mereka dengan rneletakkan ulos ke bahu rnasing-masing pengurus gereja. Sedangkan pengurus gereja menaruh tangan mereka ke atas kepala suhut.
5. Gondang yang terakhir, hasututon meminta gondang hasahatan dan sitio-tio agar semua mendapat hidup sejahtera bahagia dan penuh rejeki dan setelah selesai ditarikan rnereka semuanya mengucapkan horas sebanyak tiga kali.
Kemudian masing-masing unsur dari Dalihan Natolu meminta gondang kepada pargonsi, mereka juga sering memberikan uang kepada pargonsi tetapi yang memberikan biasanya adalah pihak boru walaupun uang tersebut adalah dari pihak hula-hula atau dongan sabutuha. Maksud dari pemberian uang itu adalah sebagai penghormatan kepada pargonsi dan untuk memberi semangat kepada pargonsi dalam memainkan gondang sabangunan.
Jika upacara ini berlangsung beberapa malam, maka kegiatan-kegiatan pada malam-malam hari tersebut diisi dengan menotor semua unsur Dalihan Na Tolu. Keesokan harinya, apabila peti mayat yang telah dipesan sebelumnya oleh suhut sudah selesai, maka peti mayat dibawa rnasuk kedalam rumah dan mayat dipersiapkan untuk dimasukkan ke dalam peti. Ketika itu hadirlah dongan sabutuha, hula-hula dan boru. Yang mengangkat mayat tersebut ke dalam peti biasanya adalah pihak hasuhutan yang dibantu dengan dongan sabutuha. Tapi dibeberapa daerah Batak Toba, yang memasukkan mayat ke dalam peti adalah dongan sabutuha saja.
Kemudian dengan hati-hati sekali mayat dimasukkan ke dalam peti dan diselimuti dengan ulos sibolang. posisi peti diletakkan sarna dengan posisi mayat sebelumnya. Maka aktivitas selanjutnya adalah pemberian ulos tujung, ulus sampe, ulus panggabei.
Yang pertama sekali memberikan ulos adalah hula-hula yaitu ulos tujung sejenis ulos sibolang kepada yang ditinggalkan (janda atau duda) disertai isak tangis baik dari pihak suhut maupun hula-hula sendiri. Pemberian ulos bermakna suatu pengakuan resmi dari kedudukan seorang yang telah menjadi janda atau duda dan berada dalam suatu keadaan duka yang terberat dalam hidup seseorang ditinggalkan oleh teman sehidup semati, sekaligus pernyataan turut berduka cita yang sedalamdalamnya dari pihak hula-hula. Dan ulos itu hanya diletakkan diatas bahu dan tidak diatas kepala. Ulos itu disebut ulos sampe atau ulos tali-tali. Dan pada waktu pemberian ulos sampe-sampe itu semua anak keturunan yang meninggal berdiri di sebelah kanan dan golongan boru di sebelah kiri daeri peti mayat.
Setelah ulos tujung diberikan, kemudian tulang dari yang meninggal memberikan ulos saput (sejenis ulos ragihotang atau ragidup), yang diletakkan pada mayat dengan digerbangkan (diherbangkan) diatas badannya. Dan bona tulang atau bona ni ari memberikan ulos sapot tetapi tidak langsung diletakkan di atas badan yang meninggal tetapi digerbangkan diatas mayat peti saja. Maksud dari pemberian ulos ini adalah menunjukkan hubungan yang baik dan akrab antara tulang dengan bere (kemenakannya).
Setelah hula-hula selesai memberikan ulos-ulos tersebut kepada suhut, maka sekarang giliran pihak suhut memberikan ulos atau yang lainnya sebagai pengganti dari ulos kepada semua pihak boru. pengganti dari ulos ini dapat diberikan sejumlah uang.
Kemudian aktivitas selanjutnya setelah pemberian ulos atau uang kepada boru adalah kegiatan margondang, dimulai dari pihak suhut, dongan sabutuha, boru dan ale-ale. Semuanya menari diiringi gondang sabungan dan mereka sesuka hati meminta jenis gondang yang akan ditarikan. Sesudah semua rombongan selesai menari, maka semua hadirin diundang untuk makan bersama. Sehari sebelumnya peti mayat dibawa ke halaman rumah orangtua yang saur matua tersebut, diadakanlah adat pandungoi yang biasanya dilakukan rada sore hari.
Adat ini menunjukkan aktivitas memberi makan (sepiring nasi beserta lauknya) kepada orangtua yang saur matua dan kepada semua sanak famili. Setelah pembagian harta warisan selesai dilaksanakan,lalu semua unsur Dalihan na Tolu kembali menari. Mulai dari pihak suhut, hasuhutan yang menari kemudian dongan sabutuha, boru, hula-hula dan ale-ale. Acara ini berlangsung sampai selesai ( pagi hari ).

1. Upacara di jabu menuju maralaman
 Keesokan harinya (tepat pada hari penguburan) semua suhut sudah bersiapsiap lengkap dengan pakaian adatnya untuk mengadakan upacara di jabu menuju maralaman. Setelah semuanya hadir di rumah duka, maka upacara ini dimulai, tepatnya pada waktu matahari akan naik (sekitar pukul 10.00 Wib). Anak laki-laki berdiri di sebelah kanan peti mayat, anak perempuan (pihak boru) berdiri di sebelah kiri, hula-hula bersama pengurus gereja berdiri di depan peti mayat dan dongan sabutuha berdiri di belakang boru. Kemudian acara dipimpin oleh pengurus gereja mengenakan pakaian resmi (jubah).
Setelah acara gereja selesai maka pengurus gereja menyuruh pihak boru untuk mengangkat peti mayat ke halaman rumah sambil diiringi dengan nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin. Lalu peti mayat ditutup (tetapi belum dipaku) dan diangkat secara hati-hati dan perlahan-lahan oleh pihak boru dibantu oleh hasuhuton juga dongan sabutuha ke halaman. peti mayat tersebut masih tetap ditutup dengan ulos sibolang. Lalu peti mayat itu diletakkan di halaman rumah sebelah kanan dan di depannya diletakkan palang salib kristen yang bertuliskan nama orangtua yang meninggal. Sesampainya di halaman, peti mayat ditutup dan diletakkan di atas kayu sebagai penyanggahnya. Semua unsur dalihan Na Tolu yang ada di dalam rumah kemudian berkumpul di halaman rumah untuk mengikuti acara selanjutnya.
2. Upacara Maralaman (di halaman rumah)
Upacara maralaman adalah upacara teakhir sebelum penguburan mayat yang gaur matua. Di dalam adat Batak Toba, kalau seseorang yang gaur matua meninggal maka harus diberangkatkan dari antaran bidang (halaman) ke kuburan (disebut Partuatna). Maka dalam upacara maralaman akan dilaksanakan adat partuatna. Pada upacara ini posisi dari semua unsur dalihan Na Tolu berbeda dengan posisi mereka ketika mengikuti upacara di dalam ruah. pihak suhut berbaris mulai dari kanan ke kiri (yang paling besar ke yang bungsu), dan di belakang mereka berdiri parumaen (menantu perempuan dari yang meninggal) posisi dari suhut berdiri tepat di hadapan rumah duka. Anak perempuan dari yang meninggal beserta dengan pihak boru lainnya berdiri membelakangi rumah duka kemudian hula-hula berdiri di samping kanan rumah duka.
Semuanya mengenakan ulos yang disandang di atas bahu. Ke semua posisi ini mengelilingi kayu borotan yang ada di tengahtengah halaman rumah. Sedangkan peti mayat diletakkan di sebelah kanan rumah duka dan agak jauh dari tiang kayu borotan Posisi pemain gondang sabangunan pun sudah berbeda dengan posisi mereka ketika di dalam rumah. Pada upacara ini, posisi mereka sudah menghadap ke halaman rumah (sebelumnya di bonggar rumah, tetapi pada upacara maralaman mereka berada di bilik bonggar sebelah kanan). Kemudian pargonsi pun bersiap-siap dengan instrumennya masing-masing.
Setelah semua unsur Dalihan Na Tolu dan pargonsi berada pada tempatnya, lalu pengurus gereja membuka kembali upacara di halaman ini dengan bernyanyi lebih dahulu, lalu pembacaan firman Tuhan, bernyanyi lagi, kata sambutan dan penghiburan dari pengurus gereja, koor dari ibu-ibu gereja dan terakhir doa penutup. Kemudian rombongan dari pengurus gereja mengawali kegiatan margondang. Pertama sekali mereka meminta kepada pargonsi supaya memainkan sitolu Gondang (tanpa menyebut nama gondangnya) , yaitu gondang yang dipersembahkan kepada Debata (Tuhan) agar kiranya Yang Maha Kuasa berkenan memberkati upacara ini dari awal hingga akhirnya dan memberkati semua suhut agar beroleh hidup yang sejahtera di masa mendatang. Lalu pargonsi memainkan sitolu Gondang itu secara berturut-turut tanpa ada yang menari.
Setelah sitolu Gondang itu selesai dimainkan, pengurus gereja kemudian meminta kepada pargonsi yaitu gondang liat-liat. Maksud dari gondang ini adalah agar semua keturunan dari yang meninggal saur matua ini selamat-selamat dan sejahtera. Pada jenis gondang ini, rombongan gereja menari mengelilingi borotan (yang diikatkan kepadanya seekor kuda) sebanyak tiga kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur. Gerak tari pada gondang ini ialah kedua tangan ditutup dan digerakkan menurut irama gondang. Setelah mengelilingi borotan, maka pihak pengurus gereja memberkati semua boru dan suhut.
Kemudian pengurus gereja meminta gondang Marolop-olopan. Maksud dari gondang ini agar pengurus gereja dengan pihak suhut saling bekerja sama. pada waktu menari pengurus gereja mendatangi suhut dan unsur Dalihan Natolu lainnya satu persatu dan memberkati mereka dengan meletakkan ulos di atas bahu atau saling memegang wajah, sedang suhut dan unsur Dalihan Na Tolu lainnya memegang wajah pengurus gereja. Setelah gondang ini selesai, maka pengurus gereja menutup kegiatan margondang mereka dengan meminta kepada pargonsi gondang Hasahatan tu sitiotio. Semua unsur : Dalihan Na Tolu menari di tempat dan kemudian mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali.
Kegiatan margondang selanjutnya diisi oleh pihak hasuhutan yang meminta gondang Mangaliat kepada pargonsi. Semua suhut berbaris menari mengelilingi kuda sebanyak 3 kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur. Gerakan tangan sama seperti gerak yang dilakukan oleh pengurus gereja pada waktu mereka menari gondang Mangaliat. Setelah gondang ini selesai maka suhut mendatangi pihak boru dan memberkati mereka dengan memegang kepala boru atau meletakkan ulos di atas bahu boru.Sedangkan boru memegang wajah suhut.
Setelah hasuhutan selesai menari pada gondang Mangaliat, maka menarilah dongan sabutuha juga dengan gondang Mangaliat, dengan memberikan ‘beras si pir ni tondi’ kepada suhut. Kemudian mangaliatlah (mengelilingi borotan) pihak boru sambil memberikan beras atau uang. Lagi giliran pihak hula-hula untuk mangaliat. Pihak hula-hula selain memberikan beras atau liang, mereka juga memberikan ulos kepada semua keturunan orangtua yang meninggal (baik anak laki-laki dan anak perempuan). Ulos yang diberikan hula-hula kepada suhut itu merupakan ulos holong.
Biasanya setelah keturunan yang meninggal ini menerima ulos yang diberikan hulahula, lalu mereka mengelilingi sekali lagi borotan. Kemudian pihak ale-ale yang mangaliat, juga memberikan beras atau uang. Dan kegiatan gondang ini diakhiri dengan pihak parhobas dan naposobulung yang menari. Pada akhir dari setiap kelompok yang menari selalu dimintakan gondang Hasahatan atau sitio-tio dan mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali.
Pada saat setiap kelompok Dalihan Na Tolu menari, ada juga yang mengadakan pembagian jambar, dengan memberikan sepotong daging yang diletakkan dalam sebuah piring dan diberikan kepada siapa yang berkepentingan. Sementara diadakan pembagian jambar, kegiatan margondang terus berlanjut. Setelah semuanya selesai menari, maka acara diserahkan kepada pengurus gereja, karena merekalah yang akan menurup upacara ini. Lalu semua unsur Dalihan Na Tolu mengelilingi peti mayat yang tertutup. Di mulai acara gereja dengan bernyanyi, berdoa, penyampaian firman Tuhan, bernyanyi, kata sambutan dari pengurus gereja, bernyanyi dan doa penutup. Kemudian peti mayat dipakukan dan siap untuk dibawa ke tempat penguburannya yang terakhir yang telah dipersiapkan sebelumnya peti mayat diangkat oleh hasuhutan dibantu dengan boru dan dong an sahuta, sambil diiringi nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin sampai ke tempat pemakamannya. Acara pemakaman diserahkan sepenuhnya kepada pengurus gereja. Setelah selesai acara pemakaman, kembalilah semua yang turut mengantar ke rumah duka.
3. Acara Sesudah Upacara Kematian.
Sesampainya pihak suhut , hasuhutan, boru, dongan sabutuha, hula-hula di rumah duka, maka acara selanjutnya adalah makan bersama. Pada saat itulah kuda yang diborotkan tadi sudah dapat dilepaskan dan ternak (babi) yang khusus untuk makanan pesta atau upacara yang dibagikan kepada semua yang hadir. Pembagian jambar ini dipimpin langsung oleh pengetua adat. Tetapi terdapat berbagai variasi pada beberapa tempat yang ada pada masyarakat batak toba. Salah satu uraian yang diberikan dalam pembagian jambar ini adalah sebagai berikut:
Kepala untuk tulang
Telur untuk pangolin
Somba-somba untuk bona tulang
satu tulang paha belakang untuk bona ni ari
Satu tulang belakang lainnya untuk parbonaan
Leher dan sekerat daging untuk boru
Setelah pembagian jambar ini selesai dilaksanakan maka kepada setiap hulahula yang memberikan ulos karena meninggal saur matua orang tua ini, akan diberikan piso yang disebut “pasahatkhon piso-piso”, yaitu menyerahkan sejumlah uang kepada hula-hula, jumlahnya menurut kedudukan masing-masing dan keadaan.
Bilamana seorang ibu yang meninggal saur matua maka diadakan mangungkap hombung (buha hombung), yang dilakukan oleh hula-hula dari ibu yang meninggal, biasanya dijalankan oleh amana posona (anak dari ito atau abang adik yang meninggal). Buha Hombung artinya membuka simpanan dari ibu yang meninggal. Hombung ialah suatu tempat tersembunyi dalam rumah, dimana seorang ibu biasanya menyimpan harta keluarga ; pusaka, perhiasan, emas dan uang.
Harta kekayaan itu diminta oleh hula-hula sebagai kenang-kenangan, juga sebagai kesempatan terakhir untuk meminta sesuatu dari simpanan “borunya” setelah selesai mangungkap hombung, maka upacara ditutup oleh pengetua adat. Beberapa hari setelah selesai upacara kematian saur matua, hula-hula dating untuk mangapuli (memberikan penghiburan) kepada keluarga dari orang yang meninggal saur matua dengan membawa makanan berupa ikan mas. Yang bekerja menyedikan keperluan acara adalah pihak boru.
Acara mangapuli dimulai dengan bernyanyi, berdoa, kata-kata penghiburan setelah itu dibalas (diapu) oleh suhut. Setelah acara ini selesai, maka selesailah pelaksanaan upacara kematian saur matua. Latar belakang dari pelaksanaan upacara kematian saur matua ini adalah karena faktor adat, yang harus dijalankan oleh para keturunan orang tua yang meninggal tersebut. Pelaksanaan upacara ini juga diwujudkan sebagai penghormatan kepada orang tua yang meninggal, dengan harapan agar orang tua tersebut dapat menghormati kelangsungan hidup dari para keturunannya yang sejahtera dan damai. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara manusia yang masih hidup dengan para kerabatnya yang sudah meninggal masih ada hubungan ini juga menentukan hidup manusia itu di dunia dan di akhirat.
Sebagai salah satu bentuk aktivitas adat , maka pelaksanaan upacara ini tidak terlepas dari kehadiran dari unsur-unsur Dalihan Natolu yang memainkan peranan berupa hak dan kewajiban mereka. Maka dalihan natolu inilah yang mengatur peranan tersebut sehingga prilaku setiap unsur khususnya dalam kegiatan adat maupun dalam kehidupan sehari-hari tidak menyimpang dari adat yang sudah ada.