Kehidupan masyarakat suku bangsa
Batak, tidak terlepas dari penggunaan kain ulos, baik dalam kehidupan
sehari-hari maupun dalam berbagai upacara adat. Ulos pada mulanya
identik dengan ajimat, dipercaya mengandung "kekuatan" yang bersifat
religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk
memberikan perlindungan. Menurut beberapa penelitian penggunaan ulos
oleh suku bangsa Batak, memperlihatkan kemiripan dengan bangsa Karen di
perbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos, khususnya pada ikat kepala, kain
dan ulosnya.
Sebelum
orang Batak (Toba, Karo, Simalungun) mengenal tekstil buatan luar, ulos
(disebut Uis oleh suku bangsa Batak Karo ) adalah pakaian sehari-hari.
Bila dipakai oleh laki-laki bagian atasnya disebut ande-hande, sedangkan
bagian bawahnya disebut singkot. Sebagai penutup kepala disebut
tali-tali, bulang-bulang, sabe-sabe atau detar. Sudah barang tentu tidak
semua ulos dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ulos
jugia, sadum, ragi hotang, ragidup, dan runjat, hanya dapat dipakai pada
waktu-waktu tertentu. Dalam keseharian, laki-laki Batak menggunakan
sarung tenun bermotif kotak-kotak (terkadang diganti dengan ulos yang
disebut singkot), tali-tali (tutup kepala) serta baju berbentuk kemeja
kurung berwarna hitam, tanpa alas kaki.
Kain
ulos yang dipakai orang-orang Batak pada upacara-upacara adat, umumnya
diselempangkan di pinggangnya atau juga sebagai selendang. Khusus bagi
suku Batak Pak pak dan Dairi, ulos yang digunakan dominan berwarna
hitam.
Pada suku Batak Simalungun
pakaian yang dipakai antara lain bulang yang terbuat dari kain ulos
dengan motif gatip dan pakaian sehari-hari yang terbuat dari ulos yang
disebut jobit. Disamping bulang ada juga ulos suri suri sebagai tutup
kepala. Pada suku Batak Toba, mereka memakai pakaian biasa, baju dan
celana, dilengkapi dengan ulos di kepala (biasanya ulos mangiring) dan
setengah badan. Kadang-kadang diselempangkan (menggunakan ulos
ragihotang), dilengkapi dengan sarung. Dalam upacara perkawinan kain
ulos lebih tampak pada pakaian pengantin. Mempelai laki-laki memakai
baju jas tutup warna putih, sedangkan bagian bawah memakai ulos dari
jenis ragi pane.
Bila
ulos dipakai oleh perempuan Batak Toba, bagian bawah disebut haen,
dipakai hingga batas dada. Untuk penutup punggung disebut hoba-hoba, dan
bila dipakai berupa selendang disebut ampe-ampe. Untuk tutup kepala
disebut saong. Apabila seorang wanita sedang menggendong anak disebut
parompa. Dalam keseharian perempuan Batak aslinya memakai kain blacu
hitam (dapat diganti dengan ulos disebut haen ) dengan dan baju kurung
panjang yang umumnya berwarna hitam, serta tutup kepala yang disebut
saong. Saat ini kain blacu hitam selain diganti dengan ulos, juga telah
diganti dengan sarung tenunan bercorak kotak-kotak.
Pada
upacara secara umum wanita Batak menggunakan ulos sebagai penghias
bahu/selendang, penutup kepala dan juga sebagai penutup dada, dan
dilengkapi dengan sarung suji. Khusus pada perempuan suku bangsa Batak
Pak pak/Dairi, Karo dan Simalungun menggunakan ulos yang berbentuk
tudung sebagai pelindung panasnya matahari.
Pakaian
pengantin perempuan Batak Karo terdiri dari baju tutup dengan lengan
panjang, sedangkan bagian bawah memakai sarung sungkit yang dililit
dengan kain ulos. Pada busana pengantin perempuan Batak Toba hampir
semua pakaian yang dipakai terdiri dari kain ulos yang salah satunya
diselempangkan pada kedua bahu sampai ke badan (biasanya jenis ulos
sadum), dan dililit dengan ulos ragi hotang. Pada suku bangsa Batak
Simalungun, kedua pengantin memakai tudung kepala yang terbuat dari ulos
suri-suri. Pada pesta perkawinan wanita suku bangsa Mandailing/Angkola
menurut adat menggunakan tata busana yang terdiri dari : bulang yang
diikatkan pada kening. Bulang terbuat dari emas, tetapi kini sudah
banyak yang terbuat dari logam yang diberi sepuhan emas. Bulang terdiri
dari tiga macam, masing-masing bertingkat bertingkat tiga disebut bulang
harbo (bulang kerbau), bertingkat dua atau disebut bulang hambeng
(bulang kambing) dan tidak bertingkat. Penamaan bulang ini dikaitkan
dengan jenis hewan yang disemblih. Misalnya penggunaan bulang bertingkat
tiga bila hewan yang disemblih adalah kerbau. Bulang mengandung makna
sebagai lambang kebesaran atau kemuliaan sekaligus sebagai simbol dari
struktur masyarakat. Bagian atas badan tertutup oleh baju berwarna hitam
yang dahulu dibuat dari kain beludru berbentuk baju kurung tanpa diberi
hiasan atau sulaman. Belakangan ini baju pengantin wanita kadang-kadang
diberi sulaman. Baju pengantin ini disebut baju godang atau baju
kebesaran. Bagian bawah badan tertutup kain songket dengan warna yang
tidak ditentukan, tergantung selera pemakai. Dua lembar selendang yang
disilangkan pada bagian dada sampai ke punggung. Pada masa lalu,
selendang terbuat dari kain tonun petani (kain tenunan petani). Dewasa
ini selendang terbuat dari kain songket. Untuk selendang pengantin,
kadang-kadang juga menggunakan kain polos tanpa warna tertentu. Arti
perlambang pada selendang adalah lambang dalihan na tolu, tampak dari
segitiga yang dibentuk dengan selendang yang disilangkan itu. Sisi kiri
melambangkan mora (kerabat pemberi anak gadis), sisi kanan melambangkan
kahanggi (kerabat satu marga), dan bagian bawah melambangkan anak boru
(kerabat penerima gadis). Pada daerah pinggang dipakai Bobat atau ikat
pinggang yang dahulu terbuat dari emas dan kadang-kadang berkepala
dengan ornamen kepala ular naga yang melambangkan
keagungan.
Alas kaki menggunakan selop atau sandal yang biasanya tertutup pada
bagian depan atasnya. Selop hanya berfungsi praktis tanpa mengadung arti
perlambang. Bagian penutup selop kadang kadang diberi hiasan, seperti
sulaman benang emas yang hanya berfungsi estetika tanpa arti perlambang.
Pengantin
pria menggunakan busana yang terdiri dari : ampu atau penutup kepala
dengan bentuk khas Mandailing/Angkola yang terbuat dari kain dan bahan
lain. Diberi ornamen warna emas makna simbolik sebagai lambang keagungan
orang yang memakainya. Ampu merupakan mahkota yang biasanya
dipergunakan oleh raja-raja di Mandailing dan Angkola pada masa lalu.
Warna hitam ampu mengandung fungsi magis sedangkan warna emas mengandung
lambang kebesaran. Bagian samping kanan ampu yang salah satu ujungnya
mengarah ke atas dan satu lagi ke bawah mengandung arti bahwa yang
paling berkuasa adalah Tuhan dan manusia pada akhirnya mati dan dikubur.
Pada masa dahulu, pengantin pria kadang kadang mengenakan tutup kepala
yang dinamakan serong barendo yang terbuat dari kain warna hitam yang
diberi renda atau rumbai-rumbai. Cara memakainya hampir sama dengan
destar atau tengkuluk (topi), tetapi ujungnya dilipat ke arah kening
sehingga terjuntai sedikit di atas kening bersama renda atau rumbai yang
terbuat dari benang emas. Baju, godang (baju kebesaran) yang pada masa
lalu berbentuk jas tutup, terbuat dari kain lakan berwarna hitam. Pada
masa sekarang menggunakan jas biasa berwarna hitam yang dilengkapi
dengan kemeja lengan panjang dan dasi. Baju Godang mengandung makna
keagungan. Celana panjang atau pantalon tanpa warna tertentu. Bobat
(ikat pinggang) yang dahulu biasanya terbuat dari emas atau perak.
Tetapi sekarang sudah umum menggunakan ikat pinggang biasa. Pada masa
lalu, ikat pinggang terbuat dari emas atau perak sebagai lambang
kebesaran. Sisamping (kain sesamping) yang dibelitkan dari batas
pinggang sampai ke lutut. Untuk si samping pada masa dahulu menggunakan
abit Bugis (kain Bugis) atau kain sarung. Tetapi sekarang menggunakan
kain songket. Sepatu sebagai alas kaki dahulu menggunakan alas kaki atau
selop yang dinamakan capal yang terbuat dari kulit.
Terima kasih atas infonya yang sangat bermanfaat
BalasHapusmungkin abang abang lengkapi visual nya jadi objek yang dicerita dipahami pembaca..... terima kasih sudah berbagi. Horaas
BalasHapus